Friday, September 7, 2018

KHILAFIAH 4 MASHAF VERSI QURBAN DAN AQIQAH

                             KHILAFIAH 4 MASHAF VERSI QURBAN DAN AQIQAH

HAFIF ZULKHAIRI

Gambar terkait


HUKUM QURBAN
Para imam madzhab sepakat bahwa udh-hiyyah (penyembelihan hewan qurban) disyariatkan dalam Islam. Namun mereka berbeda pendapat apakah qurban itu hukumnya wajib ataukah sunnah.
MALIKI, SYAFI-I, HANBALI dan para ulama pengikut HANAFI: qurban hukumnya sunnah mu’akkadah.
HANAFI: hukumnya adalah wajib atas penduduk kota-kota besar, yaitu orang-orang yang sudah mempunyai harta satu nisab.

WAKTU QURBAN
Menurut SYAFI-I, waktu penyembelihan hewan qurban adalah sejak terbit matahari dari hari nahar (idul Adha) dan telah berlalu kadar waktu shalat hari raya dan dua khutbahnya, baik imam sudah shalat maupun belum.
HANAFI, MALIKI dan HANBALI: di antara syarat-syarat sahnya menyembelih qurban adalah sesudah imam shalat dan berkhutbah.
HANAFI: penduduk kampung sudah boleh berqurban sesudah matahari terbit fajar kedua.
‘Atha’ berpendapat: masuknya waktu berqurban adalah dengan terbitnya matahari pada Idul Adha.
Akhir waktu bolehnya menyembelih qurban adalah hari tasyriq terakhir. Demikian menurut pendapat SYAFI-I.
HANAFI dan MALIKI: akhir waktu menyembelih qurban adalah hari tasyriq kedua.
Sa’id dan Jubair berpendapat: dibolehkannya penduduk kota besar menyembelih qurban hanya pada Idul Adha. Sedangkan bagi penduduk dusun diperbolehkan hingga akhir hari tasyriq.
Ibn Sirin berpendapat: tidak boleh menyembelih qurban kecuali pada siang hari raya.
An-Nakha’i membolehkan menyembelih binatang qurban sampai pada akhir bulan Dzulhijjah.
Apabila qurban itu adalah qurban wajib, maka tidak gugur karena berlalunya hari-hari tasyriq. Tetapi hewan itu harus disembelih dan dipadang sebagai qadha. Demikian menurut pendapat tiga imam madzhab. HANAFI: kewajiban menyembelihnya menjadi gugur, sedangkan hewan qurbannya hendaknya diserahkan kepada fakir miskin.
Orang yang bermaksud menyembelih qurban, sedangkan waktunya telah masuk tanggal 10 Dzulhijjah, maka dimustahabkan tidak mencukur bulunya dan memotong kukunya hingga hewan itu disembelih. Jika hal itu dilakukan juga, maka makruh hukumnya. Demikian menurut pendapat SYAFI-I dan MALIKI.
HANAFI: hal demikan boleh saja, tidak dimakruhkan dan tidak pula disunnahkan.
HANBALI: hal demikian diharamkan.

KONDISI HEWAN QURBAN
Apabila seseorang sudah menetapkan akan menyembelih seekor qurban yang sudah dipastikan terhindar dari segala cacat, maka jika ditemukan cacat, tetap dibolehkan menyembelihnya. Demikian menurut tiga imam madzhab.
HANAFI: ia tidak boleh menyembelihnya untuk qurban.
Hewan qurban yang sakit (cacat) tidak menghalangi bolehnya menjadi qurban. Tetapi jika cacatnya besar, maka tidak dibolehkan.
Hewan tua yang sudah tidak baik dagingnya, tidak sah dijadikan qurban. Juga, hewan yang kudisan tidak boleh dijadikan qurban, karena telah merusakkan dagingnya.
Hewan yang buta dan cacat matanya tidak boleh dijadikan qurban. Demikian menurut kesepakatan para Imam madzhab.
Sebagian ulama azh-Zhahiriyyah berpendapat: boleh, yaitu binatang yang cacat matanya tidak terhalang untuk dijadikan qurban.
Binatang yang tanduknya patah adalah makruh dipakai sebagai qurban.
HANBALI: tidak sah qurban dengan hewan yang patah tanduknya.
Tidak sah berqurban dengan hewan yang pincang. Demikian menurut pendapat MALIKI dan SYAFI-I.
HANAFI: sah.
Menurut kesepakatan para ulama, binatang yang terpotong telinganya tidak sah dipakai untuk qurban. Demikian pula binatang yang terpotong ekornya, karena hilangnya sebagian dagingnya. Jika ekor tersebut hanya sedikit saja terpotong, maka menurut SYAFI-I yang paling kuat: tidak boleh.
Sedangkan pendapat yang dipilih oleh para ulama SYAFI-I kemudian : boleh.
HANAFI dan MALIKI: jika sedikit saja yang hilangnya maka boleh, sedangkan jika banyak maka tidak boleh.
Dari HANBALI diperoleh dua riwayat, di antaranya adalah tidak boleh jika yang terpotong lebih dari sepertiganya.

MENYEMBELIH QURBAN
Boleh menyuruh orang lain untuk menyembelih qurbannya, meskipun orang itu seorang dzimmi, walaupun menurut tiga imam madzhab hukumya adalah makruh.
MALIKI: tidak boleh diwakilkan kepada orang dzimmi, dan hal itu tidak akan menjadi qurban.
Apabila seseorang membeli kambing dengan niat untuk dijadikan qurban, maka hewan tersebut tidak sah menjadi qurban. Demikian menurut tiga imam madzhab.
HANAFI: tetap sah sebagai qurban.
Ketika menyembelih binatang qurban dan lainnya, disunnahkan menyebut nama Allah swt. jika ditinggalkan dengan sengaja, maka tidak boleh memakan dagingnya. Sedangkan jika lupa, maka boleh. Demikian menurut HANAFI.
Menurut salah satu pendapat MALIKI: jika ditinggalkan dengan sengaja maka tidak boleh dimakan dagingnya.
Sedangkan menurut riwayat lain, MALIKI: halal secara mutlak, baik ditinggalkan sengaja maupun tidak.
Al-Qadhi’ Abdul Wahab AL-MALIKI mengatakan: “Para ulama pengikut MALIKI berpendapat bahwa jika basmalah ditinggalkan dengan sengaja maka tidak boleh dimakan sembelihannya. Tetapi di antara para ulama MALIKI ada yang berpendapat bahwa membaca basmalah hanyalah sunnah.
SYAFI-I: baik ditinggalkan dengan sengaja maupun tidak, maka tidaklah memberi pengaruh apapun.
HANBALI: jika basmalah sengaja ditinggalkan maka tidak boleh dimakan sembelihannya. Sedangkan jika tidak disengaja, dalam hal ini ia mempunyai dua riwayat, dan salah satunya: boleh dimakan.
SYAFI-I: ketika menyembelih, dimustahabkan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saww.
HANBALI: hal itu tidak disyariatkan. Disunnahkan membaca:
“AllaaHumma Haadzaa minka wa laka fataqabbal minnii (Ya Allah, sesungguhnya ini adalah dari-Mu dan untuk-Mu, maka terimalah persembahanku ini).”
HANAFI: hal demikian itu dimakruhkan.
Apabila qurban tersebut merupakan qurban sunnah maka tidak dimustahabkan ikut memakan sebagian dagingnya. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.
Bahkan ada sebagian ulama yang berpendapat wajib memakan sebagiannya. Yang lebih utama menurut qaul jadid SYAFI-I adalah sepertiganya dimakan, serpertiganya dihadiahkan, dan sepertiga sisanya disedekahkan.
Sebagian ulama berpendapat: yang lebih baik adalah disedekahkan semuanya, kecuali beberapa suap untuk mengambil berkah.
Adapun dalam qurban nadzar tidak boleh memakan dagingnya sedikitpun, demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.
Tidak boleh menjual daging dan kulit binatang qurban dan hadiah, baik yang wajib (nadzar) maupun yang sunnah. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.
An-Nakha’i dan al-Awza’i mengatakan: boleh menjualnya untuk dibelikan perkakas rumah, seperti kapak, belanga, timbangan dan sebagainya. Ini juga pendapat HANAFI.
‘Atha’: tidak apa-apa menjual kulit binatang qurban atau hadiah, baik dengan uang maupun dengan lainnya.
Binatang yang lebih utama untuk qurban adalah unta, lalu sapi kemudian kambing.
MALIKI: yang lebih utama adalah kambing, lalu unta, lalu sapi.
Seekor unta cukup untuk tujuh orang, demikian juga sapi. Sedangkan kambing hanya untuk satu orang. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.
Ishaq bin Rahawaih berpendapat: satu sapi untuk sepuluh orang.
Dibolehkan berserikat tujuh orang untuk menyembelih seekor unta, baik satu keluarga maupun bukan.
MALIKI: jika qurbannya sunnah dan satu keluarga, dibolehkan.


AQIQAH
Menurut MALIKI dan SYAFI-I: ‘aqiqah itu disyaratkan.
HANAFI:aqiqah dibolehkan, dan saya tidak berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah.
Dari HANBALI diperoleh dua riwayat. Pertama yang masyhur yaitu disunnahkan.
Kedua, yang dipilih oleh sebagian ulama pengikutya: wajib hukumnya.
Menurut pendapat al-Hasan dan Dawud, ‘aqiqah adalah wajib.
Aqiqah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing. Sedangkan untuk anak perempuan adalah satu ekor kambing.
MALIKI: untuk anak laki-laki atau anak perempuan ‘aqiqahnya sama saja, yaitu seekor kambing.
Aqiqah tersebut disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran anak. Demikian menurut kesepakatan para imam madzhab.
Menurut kesepakatan para imam madzhab, tidak disunnahkan menyapu atau mengusap kepala anak yang baru dilahirkan tersebut dengan darah sembelihan ‘aqiqah.
Al-Hasan berpendapat: disukai menyapu kepala si bayi dengan darah sembelihan ‘aqiqah.
Menurut pendapat SYAFI-I dan HANBALI, disunnahkan tulang-tulang ‘aqiqah tidak dipotong-potong, sebagai lambang meminta keselamatan bagi bayi yang baru lahir tersebut.

 Semoga bermanfaat dan menambah ilmunya.......

No comments:

Post a Comment